Di meja sebelah ranjang kamarnya. Yang menurut dika adalah meja
belajar. Walaupun butut dan kaki kakinya sedikit keropos. Dika menulis.
Menuangkan ide brillian. Yang ada di otak jeniusnya. Tangannya menuntun pena
untuk menari nari di atas kertas. Goresan penanya membentuk huruf. Menyatu
menjadi sebauh kata. Terangkai menjadi sebuah kalimat. Terbentuklah coretan
coretan yang berantakan, acak dan tak karuan. Yang nantinya akan menjadi sebuah
tulisan. Cerpen.
Ia bangun jam tiga pagi.
Walaupun agak berat, males dan dingin. Yang membuatnya ingin tidur lagi. Namun
sekarang ia bangun. Memaksakan diri. Dan akhirnya berhasil. Dia mematikan alarm
hpnya. Setelah berbunyi berderai kencang. “Akhirnya aku bisa bangun jam 3”,
kata dika dalam hati.
Hari hari Sebelumnya. Dika
berusaha membiasakan diri bangun jam tiga. Namun gagal. Malamnya dika
mengaktifkan alarm di hpnya. Dengan nada keras dan waktu tundanya sepuluh
menit. Lalu ia tidur.
Pohon cemara, damar dan pinus
menancap di badan bukit yang miring. Udaranya begitu segar. Alam pegunungan
yang begitu indah. Membawa suasana romantis. Bagi setiap pasangan yang
mendatanginya.
Dika dan orang yang
dicintainya. Karin. Yang selama ini ia kejar. Mereka berdiri di puncak bukit.
Menikmati keindahan alam. Yang membuatnya bahagia.
Aduh hangatnya, Pikir dika.
Ketika dirinya sedang berpelukan dengan orang yang dicintainya. Pelukannya
sangat erat. “karin, kita akan selalu bersama. percayalah”, bisik dika.
“iya sayang”, desah karin.
Lirih.
Tiba tiba dika mendengar
sebuah suara “Drrrrr Drrrrr, ting tong ting tong, tolelit, tolelit, tolelit”,
Suara itu benar benar Memekik telinganya. Suara itu terus berderai. Kencang.
Lalu dika tersadar. Mendapati dirinya sedang memeluk bantal gulingnya. Dia
bangun dari tidurnya.
Argh!!! menganggu, gerutu
kesal dika. Karena alarmnya membuyarkan mimpi indahnya. Dika pun mematikan
alarmnya dan kembali tidur lagi. Sepuluh menit kemudian. Alarmnya berbunyi
lagi. Derai kencangnya membangunkan dirinya dan kakeknya. Yang kamarnya
bersebelahan. Dengan pembatas dinding tembok. “aduh”, rintih kakeknya dika
kesakitan.
“berisik!!!, nganggu wong
turu tok. Mbudegi kuping( berisik!!!, mengganggu tidur orang saja. Penging di
kuping”, ujar kakeknya. Yang kebetulan sedang sakit gigi.
Mampus aku, kata dika sambil
menepok jidatnya.
Lalu dika men-off kan
alarmnya. Dia tidur lagi. Plong. Dia bangun kesiangan.
Waduh!, kenapa aku nggak
bangun jam tiga?. Ah, sia sia, dika menyesal. Mau tidak mau ia harus mandi,
makan dan berangkat sekolah. Walaupun nggak mood.
—
“bro, Aku kok susah ya bangun
jam tiga pagi. Awalnya alarm berbunyi. Aku lalu bangun. Kemudian aku tidur
lagi. Berulang ulang aku mengalaminya. Sulit rasanya. Untuk bangun jam tiga”,
dika tampak lesu. “bagaimana ini bro?”
“ketika kau ingin bangun jam
tiga. Sebelum tidur. Kau harus berkata pada diri sendiri. ‘aku bangun jam tiga,
aku bangun jam, aku bangun jam tiga.’, ucakan secara berulang ulang. Hingga
terasa ngantuk”, ujar temannya dika. Roni
“serius?”
“enggak”
“hmmm. Kau sudah pernah
mencobanya?”
“Tinggal coba aja kok. Aku
sering melakukannya.”
Awalnya dika ragu. Apakah
benar yang dikatakan roni?, pikir dika sebelum tidur. Setelah pikiran dika
penuh pertimbangan. Akhirnya dia mencoba. “aku pasti bisa!”, kata dika. Ia
yakin, bahwa ia akan berhasil. Dika pun tidur.
Benar. Tepat jam tiga. Dika
bangun. Dengan spontan. Tanpa alarm. Tanpa ada yang membangunkannya.
Setelah bangun. Dika pun
mencuci muka, berwudhu. Selanjutnya dika sholat tahajud, sholat hajat dan
menulis.
Dika terus menulis. Sudah
empat lembar tulisan dika sampai. Apa yang dilakukan dika sudah di tengah
jalan. Mungkin tulisan ini tiga lembar lagi, pikir dika. Menebak nebak. Di saat
saat seperti inilah. Dika harus melawan dirinya sendiri. Beban pikiran mulai
bermunculan. Apakah saya bisa menyelesaikan ini?. beban pikiran perlahan lahan
mulai keluar.
Satu per satu beban itu
keluar. Dika berusaha membuyarkannya. Namun beban pikiran itu terus
bermunculan. Tak henti henti. Hingga mendinginkan semangat dirinya yang
membara.
Dika tak ingin seperti dulu
lagi. Ketika ia menulis. Sampai paragraf satu. Dika pun berhenti, ngeblank,
kehabisan ide. Tak tau apa yang harus ia tulis lagi. Alih alih dika merenung.
“ketika kau ingin bisa menulis. Ya, menulislah”, kata kata penulis terkenal
muncul di pikiran dika. Namun dika bingung. Harus menulis apa?, dika bertanya
dalam hati.
Entah disambet setan apa.
Dika kesal. Merobek, meremas remas kertas yang berisi tulisan yang ia tulis.
Menjadi bulatan bola kertas. Dan membuangnya ke tempat sampah. Apa yang dialami
dika. Terus berulang ulang. Dalam hal yang sama. Menulis, ngeblank, marah,
merobek dan meremas remas tulisannya.
“bodoh!”, dika memaki maki
dirinya sendiri.
“Mungkin aku tak mempunyai
bakat menulis, dika terus menghakimi dirinya sendiri. Aku tak bisa apa apa. Aku
tak mempunyai bakat apa pun.”
“Pagi yang sial!”, dika
kesal.
Semangat dika semakin
meredup.
Dika memutuskan untuk
berhenti menulis. Kembali ke kebiasaan buruknya. Malas malasan, makan, tidur,
makan, tidur lagi. Lalu facebookan. Sehabih pulang sekolah sampai maghrib. Namun
karena telah membaca sebuah status milik temannya. Dika pun jadi iri. Dirinya
memanas. Terbakar keiriannya.
“horeee, cerpennya aku masuk
majalah story. Sob, besok makan makan ya, lumayan honornya”, status itu spintas
seperti mengejek dika. Seolah olah tulisan itu hidup. Keluar dari layar hpnya
dika. Menjalarkan lidah, yang amat panjang. Sambil mele mele ke hadapan dika.
Anj*ng, kenapa dia bisa
berhasil. Ah, tidak. Terkutuklah dika. Semakin mengecil. Melemas. Di kuasai
keiriannya. Lalu memanas. Semakin membara. Lalu dia mengambil pena dan buku
diarynya. Yang berisi kumpulan cerpen. Yang pernah ia tulis. Dika pun sekilas
membaca cerpen yang pernah ia tulis. Dia ketawa melihat tulisannya. Betapa
lucunya tulisanku. Ternyata tulisanku benar benar bagus, kata dika bangga.
“ternyata aku mempunyai bakat
menulis”, kata dika.
Lalu dia membuka lembaran
kertas kosong. Dia ancang ancang untuk menulis. Awalnya dia bingung. Mau
menulis apa ya?, pikir dika penuh pertimbangan.
“kalo ingin bisa menulis, ya
menulislah”, kata kata penulis terkenal itu terlintas di benak dika. Seperti
suara pesawat yang melintas di langit. Yang membuatnya dika menatap ke atas.
Untuk memandangi pesawat itu. Setelah berfikir panjang. Akhirnya dika pun
menulis judul cerpennya. “Dika and dream”.
Setelah berlembar lembar
tulisan dika tercapai. Penyakit menulisnya muncul kembali. Ngeblank. Aku tak
boleh menyerah, pikir dika mencegahnya. Ia pun memutuskan untuk berhenti.
Menenangkan pikirannya. Aku tak boleh menyerah, kata dika.
Nafasnya ditarik panjang
panjang. Di keluarkannya pelan pelan. Ia sigap dari tempat duduknya.
Berdiri. Mondar mandir. Di
dalam kamarnya.
Berkali kali ia mondar
mandir. Tak terhitung. Cukup lama. Galau yang ia rasakan. Pikirannya berantakan
tak tertata. Ia sekarang bingung. Harus berbuat apa?. Aku tak boleh menyerah,
ucapnya sekali lagi.
Dalam hati ia berkata penuh
keyakinan “aku pasti bisa!, aku pasti bisa!, aku pasti bisa!”
Ia kembali duduk. Matanya
menatap langit langit kamarnya. Yang terlihat hanyalah. Eternit yang bolong. Di
gerumuri ramat. Di gantunginya laba laba. Ah, tak penting juga. Menatap laba
laba itu, pikir dika. Sambil memalingkan pandangannya. Terhadap laba laba itu.
Kemudian matanya tertuju.
Pada tembok kamarnya. Yang berada di depan mata. Sebuah kertas manila. Berwarna
putih. Yang usang. Berdebu.
“petiklah sebuah mimpi,
tampunglah dalam sebuah kepercayaan, bawalah dengan tindakan”, tulisan itu
terangkai di kertas yang menempel di tembok itu.
Dika terus menatapnya. Ia tau
apa maksud tulisan itu. Ia benar, kata dika dalam hati. Aku harus mempunyai
mimpi, aku harus mempercayai mimpiku ini bahwa akan terwujud,dan aku harus
bertindak untuk mengejar mimpi mimpiku ini. Ya, aku tau. Tambahnya.
Di benak dika terus
berkecamuk berbagai macam pikiran. Bagaimana nantinya kalau mimpi mimpiku tak
tergapai?. Apa anggapan ibuku, ayahku, tetanggaku dan orang orang kalau aku tak
mempunyai mimpi. Orang pasti beranggapan bahwa aku tak ada gunanya. Yang
menyusahkan mereka. Bayang bayang itu terus menghakimi dika. Penghakiman itu
benar benar membuat dirinya terbakar. Emosinya meletup. Meledak. Doar!!!
“Ah tidak!!!, kedua tangan
dika memegang kepalanya. Aku tak boleh menyerah, tak boleh!. Semua orang pasti
akan bangga padaku. Tunggu saja”, gerutu kesal dika. Penuh khayal Setelah
emosinya meledak.
Tanpa berbasa basi. Juga
tanpa berpikir panjang. Dika pun kembali melanjutkan tulisannya. Tulisan
tentang dirinya yang sedang mengejar mimpinya. Aku pasti bisa!, menyelesaikan
tulisan ini, kata dika dalam hati. Penuh keyakinan. Aku pasti bisa!, aku pasti
bisa!, aku pasti bisa!, ucapnya secara berulang ulang.
Rona senja yang berwarna
jingga semakin meredup. Termakan pintu pintu gelapnya malam. Namun gelapnya
malam. Tak memakan semangatnya dika. Malah ia semakin semangat. Api
semangatnya berkorbar terus membara.
selamat menikmati :)
BalasHapus